Sunday, October 15, 2017

[Random Thought] Siklus

Banyak banget pertanyaan yang sering terlintas di pikiran gue ketika masalah hidup lagi nggak berat-berat banget. Mulai dari pertanyaan absurd sejenis, "Kira-kira parallel universe itu beneran ada atau nggak sih?" sampe pertanyaan yang nggak bakal ada jawaban macem, "Kenapa dulu gue males banget belajar ya?". Yaa, pertanyaan-pertanyaan kayak gitu deh, yang pilihannya cuma 2, antara misteri ilahi atau emang sekedar retorika aja. Tapi, semakin banyak waktu yang gue punya buat mikirin hal lain selain hidup gue sendiri, semakin berfaedah juga ternyata hal-hal yang gue pikirin.

"Buat siapa sih kita berbuat baik?"

Pertanyaan itu yang lagi menganggu gue akhir-akhir ini. 

"Buat diri sendiri lah. Kita berharap orang lain melakukan hal yang sama untuk kita."

Seminggu lalu gue naik commuter line sekitar jam 3 sore dari arah Jakarta ke Bekasi. Which is jam segitu gerbong kereta belum penuh sama pekerja komuter, tapi penuh sama ibu-ibu yang entah habis ngurus sesuatu atau sekedar belanja di Tanah Abang. Kebetulan sekali, gue dapet tempat duduk waktu itu. Sampe akhirnya masuk seorang nenek dari stasiun Gondangdia. Karena gue liat tempat duduk udah penuh, gue melakukan hal yang sewajarnya dilakukan orang lain kalo ada di situasi dan kondisi yang sama; mempersilahkan nenek itu untuk duduk. Such a priceless moment ketika si nenek senyum ramah sekali sambil berterima kasih. Bahkan kayaknya, itu ucapan terima kasih paling tulus yang pernah orang lain ucapkan ketika gue melakukan hal sejenis. Lalu pertanyaan tadi menggema lagi di pikiran gue, "Buat siapa sih kita berbuat baik? Emang gue beneran pamrih ya?"

Padahal, berbuat baik kan harus ikhlas, nggak boleh mengharapkan imbalan.

"Nggak pamrih kok, gue cuma seneng aja bantu orang. Apalagi kalo liat orang itu seneng."

Sebenernya ucapan itu nggak bullshit sama sekali karena gue beneran seneng liat orang yang gue bantu dengan sebuah bantuan sederhana bisa sesenang itu. Tapi berarti, gue nolong nenek itu karena gue merasa senang kan? Ujung-ujungnya gue berbuat baik buat menyenangkan diri sendiri.

Eh ada pertanyaan lanjutan.

"Kalo gitu manusia yang beribadah juga pamrih dong? Mereka kan berharap diberi surga oleh Tuhan?"

Gue selalu mikir, kalo seandainya Tuhan nggak ngejanjiin surga buat umat-Nya yang taat, kira-kira masih ada nggak ya manusia yang mau ibadah? Berarti bener dong kalo manusia itu berbuat baik karena mengharapkan timbal balik, at least dapet kebaikan yang sama atas apa yang udah dia lakukan dari orang lain? Semakin lama dipikirin otak gue rasanya mau meledak, langsung merasa jadi manusia paling berdosa karena udah mikir hal yang nggak seharusnya dipikirin. 

Sebentar.

Emangnya gue selalu berharap diberi kebaikan oleh Tuhan ketika gue berdoa ya?

Nope.

Mungkin iya beberapa kali tapi nggak selalu. Berdoa bukan cuma perihal meminta, tapi juga tentang bagaimana menyampaikan terima kasih kepada Tuhan. Ya, terima kasih karena masih dikasih kesempatan untuk bernafas dengan tenang atau karena sekedar diberi rasa bahagia.

Begitu juga dengan kebaikan yang gue kasih ke orang lain. Bukan pamrih karena mau diperlakukan sama dengan yang udah gue korbankan di masa yang akan datang, tapi sebagai bentuk terima kasih karena gue mungkin pernah diberikan kebaikan yang berbeda tapi sama besarnya. Mungkin nenek yang gue persilahkan duduk di commuter line minggu kemarin habis melakukan suatu hal yang baik sehingga hak beliau lah untuk diberikan kebaikan yang sama. Atau ketika seorang teman mau membantu gue, mungkin karena dia pernah diberikan hal yang serupa dari orang lain sehingga merasa harus menebar kebaikan juga.

Pada akhirnya, hidup ini seperti siklus yang harus kita teruskan untuk membuat kebaikan yang ada terus berputar, bukan?

Friday, October 6, 2017

[Memoar] Sabit

Peradaban manusia butuh menunggu selama 1876 tahun sampai dunia bisa terhubung oleh alat bernama telepon.
Rowling juga harus ditolak 12 penerbit untuk kemudian bisa menjadi penulis dengan karya yang dilabeli 'Best Seller'.
Oh, dan jangan lupakan Juliet yang harus mengakhiri hidupnya dengan pisau untuk bisa bersama pujaan hatinya, Romeo.
Beberapa hal terlihat rumit untuk bisa bertemu terangnya.
Padahal, fajar hanya membutuhkan satu detik setelah sinar matahari pertama jatuh untuk bisa disebut pagi.
Seperti aku yang hanya membutuhkan kamu untuk bisa kembali melengkungkan sabit di bawah hidungku.

Friday, September 29, 2017

[Random Thought] Tepat Waktu

"Kenapa sih lo selalu ngaret?!"
"Ya lo datengnya kecepetan sih jadi kesannya gue lama!"
"Mendingan dateng lebih awal kan daripada telat?"

Waktu. Sesuatu yang sangat dihargai oleh sebagian orang sedang sebagian lainnya nggak menganggap itu penting sama sekali. Selalu terlambat ketika janjian mutlak sebuah kesalahan, tapi datang jauh lebih awal pun buat gue sama salahnya. Kubu anti jam karet selalu merasa dirinya benar, termasuk kebiasaannya datang jauh lebih awal dari waktu yang telah ditetapkan. 

Ketika lo membuat janji di waktu tertentu, jangan lupakan kemungkinan bahwa lo dan teman janjian lo memiliki kegiatan di waktu sebelumnya. Lo mungkin bisa datang lebih awal karena kebetulan jadwal lagi lengang. Coba bayangin rasanya jadi temen lo yang lagi sibuk ngurus suatu hal tiba-tiba dapet chat dari lo yang kurang lebih isinya, "Gue udah di X ya." padahal pas doi cek jam, masih kurang 45 menit dari waktu janjian kalian. Kalo kalian temen deket sih paling dibales, "Yaelah cepet banget. Jam 1 masih lama kali!". Tapi kalo dia bukan temen deket lo dan dia adalah tipe yang sangat menghargai waktu, pasti dia bakal bales, "Aduh sorry banget ya gue masih di Y, 30 menit lagi paling lama gue sampe deh. Sorry ya.". Lo membuat seseorang harus minta maaf atas kesalahan yang sebenernya bukan punya dia.

"Loh kan gue cuma ngasih tau doang. Gue juga nggak berharap dia minta maaf kok!"

Let me tell you one short story.

Kebetulan, dosen pembimbing skripsi gue juga menjabat sebagai kepala prodi gue, which is banyak sekali yang harus beliau urus di luar mahasiswa bimbingan dan mahasiswa di matkul yang beliau ajar. Kebayang dong ya sibuknya kayak apa. Setiap kali bimbingan, gue harus email atau chat beliau buat nentuin jam pasti bimbingannya. Gue selalu datang tepat waktu, nggak pernah ngaret. Pernah satu kali gue kebetulan udah di kampus dari pagi dan semua urusan gue hari itu udah selesai kecuali bimbingan. Gue liat jam dan mikir, "Masih setengah jam dari waktu janjian, Nggak apa deh ke ruang kaprodi aja. Toh lampu di ruangannya udah nyala beliau pasti udah di sana.". Setelah gue sampai di sana, dosen pembimbing gue beneran udah di sana dan gue, dengan senangnya, ngetuk pintu ruangannya karena gue tau beliau lagi nggak ada tamu. Kemudian beliau ngeliat gue dengan ekspresi agak kaget sambil lihat jam lalu ngomong, "Loh, Git, janjiannya masih setengah jam lagi kan? Saya masih ngurusin berkas ini nih. Masuk dulu aja, sorry ya saya selesaiin ini dulu sebentar."

Yang gue rasain? Perasaan nggak enak luar biasa karena udah ganggu waktu beliau, udah bikin beliau minta maaf padahal salah gue datengnya kecepetan, dan rasa nggak enak karena beliau jadi terburu-buru nyeselesaiin kerjaannya. Menurut lo gue mau bikin beliau minta maaf? Nggak, gue cuma mau nunjukkin kalo gue nggak suka ngaret.

Nggak apa-apa banget kalo lo mau dateng lebih awal, tapi nggak usah bikin panik temen janjian lo dengan ngirim pesan kalo lo udah di tempat janjian sebelum waktunya. Nggak semua orang di dunia ini suka ngaret, dan nggak cuma lo di dunia ini yang menghargai waktu. Ketika lo sangat menghargai waktu yang lo punya dan kesal ketika ada orang yang datang terlambat, coba juga untuk hargai waktu yang orang lain miliki dengan tidak menganggu sebelum waktunya.

"Coba aja kita ketemu lebih awal ya, Git."
"Loh, kalo kamu dateng lebih awal aku belum tentu bisa sama kamu sekarang. Ini udah waktu yang paling tepat kok."

Tepat waktu. Bukan sebelumnya atau datang terlambat.

Friday, August 18, 2017

[How to Deal with Life 101] Your Goals Matter

Tujuan bukan sesuatu yang umum dimiliki setiap orang. Sebagian mungkin sudah menata hidupnya sedemikian rupa, menentukan tujuannya, dan segala upaya untuk bisa sampai kesana. Tapi sebagian lagi, bahkan nggak menganggap tujuan sebagai sesuatu yang penting. Let it flow, they said. 

Gue suka banget mengamati perilaku orang buat kemudian ditelaah sifatnya. Rasanya seru aja, semacam nonton film dengan karakter yang super banyak. Temen-temen terdekat gue misalnya, sering banget gue jadiin sasaran ke-sotoy-an gue untuk mendalami ragam sifat orang. Kadang, mereka malah minta gue menjabarkan sifat buruk mereka, buat dijadiin bahan introspeksi. Nah, ini yang susah. Semakin sering gue jabarin sifat seseorang, gue ketemu di satu titik kesimpulan; nggak ada sifat yang benar-benar baik atau benar-benar buruk. But, of course, there are several characters that bother me.

Salah satu sifat yang paling menarik buat gue, nggak lain ya, iri hati. Sounds childish, isnt it? Gue pun berpikir demikian. Mungkin gue emang terlalu naif karena beranggapan sifat iri hati ya cuma dimiliki sama anak kecil. Kakak yang iri sama adiknya karena lebih disayang orang tua, atau anak SD yang sirik liat temennya punya tempat pensil baru. Sesederhana itu. Tapi nyatanya, sifat ini pun masih sering banget gue temui ada pada orang sepantaran gue. Nggak kayak sifat lainnya yang sama-sama dilabeli dengan 'sifat buruk', iri hati ini menurut gue nggak berdampak buruk ke orang sekitar kecuali ke diri orang yang bersangkutan. Apa sih yang sebenernya dicari dari orang-orang dengan sifat ini?

Mereka butuh motivasi.

Terkadang, liat apa yang orang lain udah berhasil raih, membuat sebagian orang terpacu buat meraih hal yang sama, entah itu hal baik atau pun buruk. Bagus kalau dua individu itu punya tujuan yang serupa, mereka bisa jadi sparing partner yang baik, mungkin. Tapi, masalah bakal jauh lebih rumit ketika tujuan hidup yang satu, berbeda dari yang lain. Iya, si iri hati pasti bakal selalu bandingin apa yang telah dia raih dengan apa yang telah orang lain raih. Kemudian, bakal muncul perasaan insecrue yang bikin dia parno, takut dikalahin sama orang yang dia anggap lawan.

'Wah bagus dong kalau emang bisa memotivasi buat jadi lebih baik lagi?'

Ya bagus, tapi nggak akan ada rasa puas yang mau mampir. Serakah. Padahal, hidup ini bukan tentang menang atau kalah, tapi tentang pencapaian tujuan. Banyak orang yang tujuan hidupnya jadi orang kaya, tapi jelas, mereka punya indikator yang berbeda-beda buat dikategorikan sebagai orang kaya. Atau punya tujuan hidup buat membahagiakan keluarganya. Bahagia yang seperti apa? Memberikan barang mewah kah atau sekedar meluangkan waktu? Your goals matter. Menurut gue, punya tujuan adalah salah satu cara buat ngilangin rasa iri hati. Ketika kalian merancang tujuan beserta titian tangga buat mencapainya, di sana kalian udah satu langkah lebih maju daripada sifat iri yang ada di hati.

Lagi-lagi gue terdengar naif.

'Yaelah tujuan doang mana bisa bikin sifat iri hati hilang?'

Jelas bisa. Iri hati ini sebenernya turunan dari sifat labil. Punya tujuan sendiri bisa bikin kita jadi nggak terdistraksi sama apa yang orang lain kerjakan atau capai. Dan lagi, gue rasa nggak sepantasnya kita membandingkan diri kita sama orang lain kalau cuma sekedar mencari motivasi. Apa yang udah dilalui gue dan kalian jelas beda, begitu juga dengan kalian dan mereka. Nggak adil rasanya kalau harus bandingin diri sendiri sama orang lain yang bisa aja pernah merasakan penderitaan yang belum pernah kita rasain. Tapi, ada satu orang yang bisa kalian jadiin bahan perbandingan buat jadi lebih baik in order to achieve your goals; your own past self. Kalau kalian selalu merasa lebih buruk dari orang lain, coba tengok ke belakang, apa kalian yang sekarang lebih buruk dari kalian di masa lalu? Cuma diri sendiri yang bisa dijadiin perbandingan. Nggak cuma adil buat lo yang sekarang, tapi juga buat lo di masa depan.

Kalau kalian punya rasa iri sama orang lain, coba cek lagi tujuannya udah jelas belum? Atau kalau tujuan udah jelas tapi ternyata masih sirik, iri sama diri di masa depan aja, di mana kalian udah berhasil raih apa yang kalian mau. Selamat berkutat bersama tujuan!


Monday, July 10, 2017

[Random Thought] Etalase

Manusia dan media sosial sekarang ini udah nggak terpisahkan banget. Ngelakuin hal seru sedikit, update. Kumpul sama temen-temen sebentar, update. Lagi galau, update. Semua orang, yang bahkan mungkin nggak kenal deket sama lo, bisa tau lo lagi di mana, sama siapa, lagi ngapain, apa yang lo rasain, kondisi hati lo gimana dan seterusnya seterusnya seterusnya. Tenang, gue nggak lagi nyindir siapapun. Karena kenyataannya, gue juga melakukan hal yang sama.

Wait.

Gue? Kayak ada yang salah.

Seminggu lalu, entah kesambet apa, gue mutusin buat nggak buka social media, spesifiknya, Instagram. Kenapa cuma Instagram? Karena, serius, buat gue Instagram social media paling racun yang pernah gue punya. Padahal, sejak pertama kali gue bikin Instagram, paling banyak gue posting satu bulan sekali. Setahun pun foto yang gue post nggak pernah lebih dari 5 biji. Buka Instagram juga kalo lagi pengen aja. Tapi, surprise, tahun ini yang notabene baru jalan 6 bulan, gue udah nge-post foto lebih dari 10. Bahkan sekarang ini, literally tiap gue pegang handphone, aplikasi pertama yang gue buka ya Instagram. Kenapa?

Konten yang gue post di socmed, mostly, adalah sesuatu yang kira-kira menunjukkan kalo gue bahagia. Bahagia. Kemudian gue mikir. Emang kalo gue bahagia, semua orang harus tau? Gue bahagia nggak cuma baru-baru ini aja kok. Tapi kenapa baru sekarang gue ngumbar kebahagiaan? Pencitraan? Nope. Gue beneran bahagia. 

Buat orang yang kenal deket sama gue, pasti ngerasain banget perubahan ini. Karena mereka juga yang pernah mati-matian nyuruh gue bikin Path dan Snapchat (waktu dua socmed ini lagi super happening) tapi gue tolak dengan alesan, "Gue nggak suka main socmed yang pamer location atau kegiatan harian kayak gitu.". Asumsi gue sih mereka nggak mau bilang ini ke gue karena mereka tau gue sedang butuh sesuatu buat meluapkan apa yang gue rasain.

But then I realized, I'm not me anymore. Bukan lagi gue yang 'nggak suka umbar daily life di socmed'. And I think, I should back to my old me. Bukan, gue bukan si idealis yang nggak mau main socmed sama sekali dan sedang berjuang mempertahankan idealisme yang gue pegang teguh. Gue cuma mau kembali jadi gue yang dulu karena sebenernya, gue pun nggak nyaman jadi gue yang sekarang.

Pembenaran. Iya, gue yang sekarang lagi mencari pembenaran dari orang-orang kalo gue bahagia. Pathetic yet ambitious at the same time. Gue orang yang peka sama lingkungan and I know, some of my friends (definitely not the closest one) lagi kasian sama gue for some reason that cant be explained here. Dan iya mereka bener, gue emang harus dikasihanin, bukan karena 'sesuatu' yang mereka pikirkan, tapi karena gue mencari pengakuan dari mereka kalo gue bahagia.

Social media buat gue kayak etalase. Momen yang bakal kalian (and of course me also) pajang pasti cuma yang terbaik, atau yang membahagiakan buat kalian. Cari perhatian pembeli, wajar, namanya juga etalase. Tapi rasanya momen hidup gue kok terlalu berharga ya kalo sekedar gue pajang di etalase buat dipuja-puja orang atau sekedar dapet pengakuan dari orang kalo hidup gue menyenangkan?

Di samping itu, entah kenapa gue ngerasa Instagram ini jadi platform buat orang-orang bersaing secara nggak langsung. Entah pamer harta lah, pamer ketenaran, pamer punya pasangan, pamer achievement, pokoknya segala hal yang bisa dipamerin. Gue pernah baca salah satu artikel (Gue lupa nge-save link-nya hiks kesel. Nanti kalo ketemu gue bakal link di sini.) yang bilang kalo Instagram ini adalah socmed yang paling nggak 'menyehatkan'. Gue lupa apa yang artikel itu jelasin tentang nggak menyehatkan ini tapi yang jelas saat itu gue nggak terlalu ambil pusing lebih tepatnya nggak peduli kali ya. Seiring dengan kesadaran gue yang udah mulai pulih pasca turbulance kehidupan (cie gitu), gue pun sadar nggak 'menyehatkan' yang dimaksud artikel itu apa. Nggak usah jauh-jauh mikirin dampak buat orang yang tenar di Instagram deh, buat kita dan orang-orang terdekat aja dulu. Hayo ngaku pasti kalian pernah, at least nih at least ya, sekali aja gossip-in salah satu temen kalian cuma gara-gara liat postingannya di Instagram? Ya gue sih nggak muna ya, karena gue pernah. Atau mungkin malah kita yang dijadiin bahan gossip sama temen-temen. Who knows?

Jadi, gue mau melipir sebentar dari hiruk pikuk Instagram yang amat sangat ramai. Gue mau balik jadi gue yang dulu. Yang kebahagiaannya nggak cuma terukur dari berapa banyak posting-an yang gue buat. Yang kalo lagi seneng yang dipikirin bukan update story atau foto tapi berbagi langsung ke orang yang pantas merasakan senengnya gue, bukan ke semua orang yang bahkan mungkin bisa jadiin gue sebagai bahan gossip. Bahagia itu temennya sedih. Sama halnya kayak sedih yang nggak mau gue umbar, bahagia pun nggak mau diumbar kalo lagi dirasain.

'Nggak aktif di Instagram tapi aktif di blog. Meh sama aja keleus.'

Iya sih sama aja buat kalian, tapi nggak buat gue. Gue suka nulis, suka mikir dan gue mau nuangin isi kepala gue yang kadang suka mau meledak ini. Mungkin gue tetap terlihat sedang menata etalase biar keliatan indah dipandang. Tapi bedanya, etalase yang sekarang ini, gue isi dengan hal yang (mungkin) juga bermanfaat buat orang lain, bukan cuma suatu yang butuh diakui oleh orang lain. Ya kalo pun tulisan-tulisan di blog ini nirfaedah buat orang lain, at least, ini bakal jadi jurnal penting buat hari tua gue. Bukan sekedar jadi pengingat kalo gue pernah seserius ini cuma gara-gara hal remeh aja, tapi buat gue ketawain sama teman hidup gue nanti (eeee ujung-ujungnya teman hidup). Karena serius deh, baca posting lama di blog rasanya jauh lebih menyenangkan dibanding liat posting lama di Instagram. Lagipupa, probabilitas orang buat mampir ke blog gue ini kecil bangettt. Cuma ada tiga jenis orang yang bakal baca post ini; orang yang nyasar, temen yang care, dan lo yang kepo sama hidup gue yang bakal baca tulisan ini sambil dumel dalem hati 'Apaan dah ini orang sok asik banget. Ew.'.

Gue sama sekali nggak maksa kalian buat setuju sama apa yang gue rasain. Kalo lo kontra dan menganggap gue lebay, nggak masalah namanya juga hidup ya, nggak semua orang bersedia jadi supporter. Tapi kalo lo lagi ngerasain hal yang sama kayak gue, mari kita berpegangan tangan keliling dunia bersama.

Semoga tulisan ini bisa sedikit membantu kalian yang sedang berusaha mati-matian menata etalase tapi ternyata lelah karena nggak juga mendapat perhatian. Inget, bahagia itu berharga loh!

Saturday, June 17, 2017

[Memoar] Percaya Diri Sekali Kamu

Saya benci ketika kamu muncul kembali dalam ingatan saya. Kamu pikir, berkeliaran di ingatan seseorang tidak melanggar hukum?! Ya memang tidak sih. Tapi saya sungguh ingin kamu tahu tentang hal ini. Bahwa ternyata, sebanyak dan sebesar apapun kepingan ingatan buruk yang telah kamu buat untuk saya simpan, tidak ada satu pun yang mampu menggantikan memori baik tentang kamu. Tidak. Saya tidak sedang mengiba atau meminta kamu kembali. Percaya diri sekali kamu.

Memaafkan terdengar klise, pun berdamai dengan masa lalu. Banyak teman berkata, "Cari orang baru!". Saya ingin tertawa. Tidak semudah itu. Jika orang itu hanya akan membuat robek yang telah saya jahit kembali terbuka, untuk apa saya membiarkan dia membantu? Sungguh saya memaafkan kamu. Bahkan jika kamu tidak memintanya sekali pun. Jadi, bukan karena tidak mudah untuk menggusur kamu dari tempat yang dulu, tapi karena berdamai dengan masa lalu tanpa dibantu siapapun terdengar jauh lebih menyenangkan. Jangan terlalu percaya diri.

Dan lagi bagi saya, waktu adalah penyembuh segala. Hanya waktu yang akan menjawab tanya yang tidak pernah kamu jawab. Atau penawar bagi sakit yang tidak terobati. Atau penggerus perasaan yang masih utuh. Bukan orang baru, apalagi kamu. Percaya diri sekali kamu.

Sunday, May 21, 2017

[Memoar] Dasar

Biru dan sendu masih bersamaku
mengiringi tiap satuan memori yang pernah nyata.
Sudah,
tidak semudah itu.
Marah,
tidak bisa mengelak.
Air mata bukan lagi kawanku.
Kebencian,
bukan amarah semata.
Kamu mampu.
Aku harus.
Biru dan sendu masih bersamaku
mengiringi tiap lembar yang menanti wujud.
Mungkin dengan dia
yang siap membuat hitam semakin kelam.
Atau dia
yang akan menjadikan oranye kembali terbit.

Tuesday, May 16, 2017

[How to Deal with Life 101] Find a Hobby

Hobi. Kata yang udah jarang banget gue denger di kehidupan sehari-hari. Entah karena anak jaman sekarang nggak punya hobi atau mungkin mereka menggunakan istilah lain. Tapi gue yakin sih semua orang pasti punya hobi, sepasaran atau seaneh apapun. Apa? Ada yang nggak punya hobi? Ada yang nggak tau hobinya apa? OMG. Turut berduka cita deh buat hidupmu, nak :')

Buat sebagian orang, nggak punya hobi emang bukan masalah. Tapi menurut gue, that's a big no. Hobi itu beneran pelarian yang paling baik, dari segala kecarutmarutan yang lagi kalian alami. Gue suka banget nulis dan baca, suka banget. Gue udah hampir meninggalkan hobi ini karena beberapa tahun belakangan hidup gue seneng-seneng aja, sibuk tapi nyaris nggak pernah stress, bahkan hampir nggak punya masalah yang berarti. Itu sebabnya blog gue ini minim update beberapa waktu terakhir. Tapi setengah tahun terakhir, masalah kok rasanya dateng bertubi-tubi ya? Gue bingung, nggak ada kerjaan lain tiap hari selain nangis dan meratap (I know thats kinda lebay but, I've been feeling sooo pathetic lately.).

Saking bingung dan nggak tau harus ngapainnya, gue iseng buka blog yang udah berdebu ini. Setelah gue coba nulis sesuatu, rasanya beban gue kayak keangkat sedikit. Lega. Bukan karena gue mencurahkan isi hati gue. Kalo itu sih, kuping temen-temen gue juga bisa nampung. Lebih dari itu, gue ngerasa kayak kembali ke rutinitas yang tanpa sadar udah gue lupain. Gue tulis apapun, bahkan yang nggak berhubungan sama apa yang gue rasain sekalipun. Pelarian gue ternyata murah; kembali melakukan sesuatu yang pernah gue sebut sebagai hobi.

Mungkin dulu gue nggak menganggap hobi itu sesuatu yang penting. Gue selalu menganggap hobi itu ya sesuatu yang gue lakukan dengan senang hati dalam rutinitas dan frekuensi waktu yang tetap. Ternyata nggak sesederhana itu. Hobi buat gue yang sekarang adalah pelarian. Dimana gue bisa melupakan masalah gue sejenak dan bersenang-senang walau dengan waktu yang mengekor. Sesederhana gue nulis post ini, atau sesederhana gue kembali membaca ulang kisah Eleanor dan Park yang sempet lupa gue lanjutin. #curhat

Kalo kalian belum punya hobi, go find your hobby then. And thank me later. :)

Monday, April 24, 2017

[Memoar] Tentang Cinta

Cinta bukan tentang bagaimana seseorang rela mengorbankan seluruh rasa sayangnya untuk dihabiskan pada satu orang tertentu. Bukan juga tentang rela membiarkan dirimu tersakiti untuk membuat dia yang kamu cinta bahagia.
Cinta bisa menjadi senjata pelindungmu pun bisa menjadi bumerang perasaan bagimu. Bisa juga menjadi pelita sekaligus menjadi api yang membutakanmu.
Cinta bukan barang biasa yang bisa kamu hancurkan dan buang dengan mudah. Bukan juga benda berharga yang harus dijaga setengah mati karena mengundang pencuri.
Cinta hanya dua orang yang berada pada satu frekuensi yang sama, yang dipertemukan oleh pilihan berujung takdir. Cinta selalu memiliki jalan sederhana untuk pulang. Seringkas air yang selalu kembali pada bumi setelah terik menguapkannya. Tanpa paksaan, walau kadang menyakiti siapapun yang terhujani.
Cinta sederhana, tapi merepotkan.

Sunday, April 9, 2017

[How to Deal with Life 101] Bad Feeling VS Negative Thinking

Pernah nggak sih lo merasa punya perasaan nggak enak akan suatu hal? Gue sering. Dan biasanya, gue nggak bisa bedain apakah itu bad feeling atau gue yang terlalu thinking overly negative about something. Lo juga? :)

Gue pernah ada di satu masa ketika pikiran gue terus-terusan membuat skenario yang sebenernya sama sekali nggak pernah terjadi dan mungkin nggak akan terjadi. Perasaan gue selalu bilang kalo itu bad feeling. Tapi logika gue menyuarakan hal yang lain, dia bilang, ini cuma pikiran yang terlalu negatif. Karena gue adalah seorang ENFJ, jelas lah gue lebih menangin perasaan. 

Tapi, sumpah, hidup di tengah pikiran negatif itu super duper nggak enak. Bukan cuma orang yang ada di sekitar kita aja yang nggak nyaman, diri sendiri pun nggak nyaman. Sampe akhirnya gue memutuskan untuk berhenti mengatakan kalo itu adalah bad feeling, tapi emang gue aja yang terlalu negative thinking.

Kemudian, setelah gue yang sangat menggunakan feeling dibandingkan dengan logika ini mulai berusaha mati-matian buat mengubah peran logika biar bisa lebih mendominasi, kenyataan mukul gue telak-telak. Apa yang gue skenariokan, kejadian. Nahloh. 

Gue marah sejadi-jadinya sama pikiran gue. Kenapa gue nggak ikutin aja apa kata hati gue, kayak yang biasa gue lakuin? Di sisi lain, gue kasian seada-adanya sama diri gue. Gue merasa jahat sama diri gue sendiri karena bahkan nggak bisa mempertahankan apa yang selama ini gue percaya dan malah berpikir sok positif.

Marah sama diri sendiri membuat gue jadi muter otak. Sebenernya, semua kejadian itu terjadi karena kekuatan pikiran gue alias sugesti, atau sebenernya ini emang seharusnya terjadi? Sampe detik ini pun gue nggak menemukan jawabannya seolah semuanya adalah loop yang nggak ada ujungnya.

Tapi tetep, ini semua emang salah gue. Salah gue yang nggak bisa mempertahankan keyakinan. Salah gue yang nggak bisa bikin benteng buat diri sendiri. Salah gue yang cuma bisa bikin skenario masalah tanpa bikin skenario penyelesaiannya. Salah gue juga yang terlalu memberikan kepercayaan berlebih kepada orang lain, tanpa percaya sama diri sendiri.

Trust yourself.

It, really, will be the best defense you ever had. Ini nggak basa-basi sama sekali. You can thank me later. Pernah ada di kondisi itu bikin gue sadar, kalo satu-satunya orang yang bisa lo percaya di dunia ini, ya diri lo sendiri. Cuma diri lo satu-satunya yang bisa bikin lo bahagia tanpa pamrih. Percaya sama apa yang lo rasain sambil pelan-pelan bikin benteng biar kalo tiba-tiba ada yang nyerang lo nggak langsung mati, nggak merugikan sama sekali kok.

Kalo suatu saat lo dihadapkan pada masalah yang mungkin mirip sama yang pernah gue hadapi, jangan pernah sok berpikir positif. Percaya aja sama apapun yang lo rasain, simpan sebaik mungkin di pikiran, mulai buat pertahanan setebal mungkin. Tapi, yang harus digarisbawahi adalah jangan sampe kepercayaan diri ini malah jadi bumerang dan bikin orang-orang di sekitar nggak nyaman karena lo yang terlalu sering bragging up tentang apa yang lo rasain. Kalo semua udah lo lakukan dengan baik, selamat! Lo udah berhasil memulai langkah awal buat membahagiakan diri sendiri.

Sunday, March 26, 2017

[Memoar] My (Failed) Long Distance Relationship

"Kok mau sih, Git, LDR-an?"
"Nggak takut cowoknya selingkuh tuh?"
"Udah nggak ketemu berapa bulan?"
"Lebih enak pacaran sama yang deket tau, kemana-mana bisa dianter."
"Ih kok kuat sih?"
"Inget, Git, yang sayang bakal kalah sama yang selalu ada."

Pertanyaan-pertanyaan sejenis itu udah sering banget masuk kuping gue. Gue bisa jawab apalagi selain senyum? LDR emang dipandang skeptis sama banyak orang. Buat sebagian orang, LDR terdengar menyeramkan, menyedihkan, dan merugikan. Gue pun pernah ada di kubu mereka. Awal menjalani LDR, yang gue rasain ya kurang lebih insekuritas yang nggak bisa dikontrol. Gue selalu curiga sama apa yang dia lakukan. Gue selalu pantau aktifitas dia lewat sosial media yang ekstremnya, gue buka langsung akunnya, bukan lewat akun gue. Rasanya saat itu gue adalah cewek paling posesif di dunia (LOL). Belum lagi perdebatan-perdebatan nggak penting yang sering muncul karena (ehem) kangen. Tapi lagi-lagi, gue bisa apa? Dia bisa apa?

Selama lebih dari 5 tahun hubungan gue, 3 tahunnya dilewatin dalam keadaan LDR. Sumpah ini nggak gampang. Kuat-kuatin iman buat nggak tergoda sama apa pun yang punya probabilitas buat ngancurin hubungan LDR tuh nggak gampang loh. Bohong banget kalau gue bilang LDR gue lancar-lancar aja tanpa godaan faktor eksternal. 

Belum lagi di media sosial, banyak banget orang-orang yang berusaha buat menggoyahkan para pejuang LDR ini. Dan nggak jarang juga si pelaku LDR bakal ngebales mereka dengan ngasih list kelebihan pasangan LDR. Biasanya LDR-ers bakal menyangkal dengan "Ah LDR nggak selalu buruk kok, kita jadi nggak gampang bosen karena nggak sering ketemu. Sekalinya ketemu jadi kayak pasangan baru deh masih malu-malu manjyah." atau "LDR kan pembuktian kekuatan hubungan, kalau bisa tahan ya berarti emang beneran cinta.". Pun gue pernah ada di kubu orang-orang yang bela LDR setengah mampus.

Gue pernah mati-matian pertahanin hubungan LDR. Tau banget rasanya kangen tapi nggak bisa apa-apa. Tau banget rasanya harus jaga pikiran tetep positif dan percaya sama pasangan. Tau banget rasanya jealous nggak jelas sama temen-temen pasangan yang, somehow, ya emang bikin iri karena bisa setiap saat ada di samping dia. Been there, done that.

Pernah? Ya iya pernah, soalnya gagal, nggak lulus. Hehe.

"Terus kapok nggak, Git, kalo suatu saat nanti harus LDR lagi sama seseorang-yang-entah-siapa?" 

Sama sekali nggak. Masalah utama LDR itu sebenernya ada di diri tiap orang. Nggak semua orang bisa berhasil, pun nggak semua orang selalu gagal. LDR bukan cuma tentang kepercayaan sama pasangan, tapi juga sama diri sendiri. Percaya kalau lo bisa lewatin semuanya. Gue yakin sejuta persen, selama ada kemauan, semuanya pasti bakal bisa lo jalanin. Tapi kalau lo sendiri aja udah nggak yakin dan nggak punya kemauan ya udah bye aja. Lagi pula, if you really into she/he, you would do everything to stay with her/him, kan? Jarak mah kecil.

"Terus, nyesel nggak, Git, udah bertahun-tahun jadi pejuang LDR, eeeeh ujung-ujungnya gagal juga? Sayang kan itu waktu bisa buat cari yang lain." 

Sama sekali nggak. Kalau pun ada satu hal yang gue sesali dari kandasnya hubungan jarak jauh gue, it's just how he ended it. Thats all. Gue emang kehilangan waktu gue buat cari yang lain, tapi gue punya pengalaman yang nggak semua orang punya; my trust has been betrayed. EAAAA.

Gue sama sekali nggak punya niat buat discourage kalian para pasangan LDR. Malah gue mau pegang tangan kalian yang lagi menjalani LDR buat memberikan dukungan sepenuh jiwa dan raga. Gue tau LDR nggak gampang. Semua tentang kemauan, inget ya, ke-ma-u-an bukan kepercayaan. Kalau percaya tapi nggak punya kemauan mah sama aja bohong, ujung-ujungnya juga bisa tetep ditikung. Heu.

Anyway, gue nulis ini bukan bermaksud nyindir, nyinyir atau menjatuhkan pihak mana pun ya. Gue cuma mau share aja tentang kisah cinta jarak jauh yang banyak diperdebatkan orang-orang. Please don't take it seriously if you read this. Lagipula, I didn't mention any certain name and issue unless  the LDR itself, kan? :)

Buat kalian yang lagi LDR-an atau pun nggak, selamat jatuh cinta dan berjuang melawan jarak!










Fun facts : Gue nulis ini sebenernya dari pas masih jadi pejuang LDR. Tapi apalah dayaku ternyata gugur di medan perang dan tulisan ini pun gue rombak 70%. Udah lama banget ada di draft dan gue udah janji sama diri sendiri bakal nge-post ini kalau gue udah mulai bisa ngetawain masa lalu gue. So, yea, here I am!


Saturday, March 18, 2017

[Random Thought] Takdir dan Pilihan

Pilihan.

Atau takdir?

Gue pernah bahas masalah takdir dan pilihan beberapa tahun yang lalu di sini. Agak sedikit kaget juga sih kenapa gue yang dulu masih umur belasan tahun udah bisa mikir hal serumit itu. Bukannya mau meninggikan diri sendiri, tapi emang kenyataannya, nggak semua orang bisa punya pikiran kayak gitu. Bahkan orang-orang yang umurnya sama kayak gue di masa sekarang ini.

Makin tambah umur, semakin banyak pilihan yang ada di depan mata. Ada orang yang habis lulus pendidikan, mau lanjut lagi ke pendidikan yang lebih tinggi. Ada juga yang mulai merintis karir, entah jadi budak korporat atau bikin usaha sendiri. Pun ada yang mau langsung menikah.

Kemudian muncul mulut-mulut usil yang seenak jidatnya ngomong "Yaelah, lo bisa lanjut kuliah di luar dapet beasiswa yang oke, wong udah pinter dari sananya." atau, "Ya iya lah karir lo cepet naik, lo kan banyak kenal orang dalem." atau yang ini, "Emang udah takdirnya dia ketemu jodoh lebih cepet dari gue kali ya."

Hmm, yang begini nih yang minta dijitak. Siapa pun, menjalani hidupnya yang sekarang bukan dengan cuma-cuma. Pasti mereka membayarkan hal yang nggak semua orang rela bayarkan buat mendapatkan apa yang dia punya saat ini.

Ya iya sih dia kuliah dapet beasiswa super oke dengan gampangnya, tapi lo tau nggak seberapa besar kerelaan dia buat nuker waktu tidur dan mainnya buat belajar dan melakukan hal yang lebih bermanfaat? Sesuatu yang nggak mau lo lakuin kan?

Ya iya juga sih dia bisa sukses dalam karirnya karena banyak kenal sama 'orang dalem', tapi lo tau nggak kalo dia membangun relasi dengan banyak ikut organisasi kampus yang bikin dia susah punya waktu buat sekedar makan siang?

Terus apa lagi? Jodoh? Lo yakin mereka beneran berjodoh? Lo yakin mereka nggak punya pilihan lain selain menikah? Mengorbankan, mungkin mimpinya buat bebas berkarir atau berilmu, dan menukarnya sama konsekuensi kalo ternyata pasangan yang dia nikahin itu bukan jodohnya.

Semua tentang pilihan. Kita semua punya pilihan yang sama, tergantung gimana cara kita menyesuaikan sudut pandang biar lebih pas dan enak dicerna. Kalo lo ngerasa orangtua lo nggak mampu bayarin lo kuliah di luar negeri, lo bisa kan cari-cari beasiswa? Nggak usah yang muluk, sadar diri aja sama standar yang lo punya. Lo juga bisa kok sukses berkarir dari muda, asal lo mau ngorbanin waktu lo selama kuliah yang tadinya dialokasiin buat main-main nggak jelas jadi 'main-main' bermanfaat. Lo juga bisa kok terima cowok yang setengah mati cinta sama lo, tapi lo nggak pernah suka. Siapa tau kalian jodoh.

Semua tentang pilihan. Apa pun yang lo punya hari ini, pasti buah dari pilihan yang dulu setengah mati lo perjuangkan. Kuliah di universitas ternama tapi susah lulusnya? Ya, lo kan bisa milih buat kuliah di universitas biasa aja kalo mau cepet lulus. Ngeluh-ngeluh susah nyari kerja? Coba usahanya ditingkatin lagi, lo kan nggak pernah tau saingan yang berhasil ngalahin lo udah berusaha dan jatuh bangun seberapa keras. Patah hati? Harusnya lo udah tau sih kalo patah hati emang risiko dari jatuh cinta. Kalo nggak mau patah hati mah, nggak usah diterima itu cowok. Lo kan 'pernah' punya semua pilihan itu.

Semuanya tentang pilihan. Tuhan nggak mungkin sejahat itu buat ngasih lo takdir tanpa pilihan. Satu-satunya yang harus lo lakuin ya jalanin aja apa yang udah lo pilih ini, serusak atau semulus apa pun jalannya. Takdir pasti baik kok. At least, baik bagi diri lo, bukan orang lain.

Selamat memlih, menjalani, dan bersyukur!

Wednesday, March 15, 2017

[Memoar] Dear Gita

Dear Gita,

I'm so sorry for looking you down in these past four months. I'm sorry for keep told you to be positive when the vibes was positively negative. I'm sorry for not listening to your heart. I'm sorry for always blaming you and thought it was all your faults.

I know, loving is hurts sometimes. Its because you did it right. Its okay to feeling hurts and pity. Its okay to crying out loud. Its okay to hear your heart cracking and bleeding at the same time. Its all okay. Wounds take time to heal. Embrace it.

When you finally has done with your 'crappy' things, promise me to get up. Forgiving is all you have to do. Calm down, I'm not gonna force you to forget. If someone had use their rights to broke your trust, then you have a rights to not forget their fault.

Be happy, Git.


Love,

Your logics

Sunday, March 12, 2017

[Memoar] Kala

Tidak selamanya tangis pertanda pilu
Tidak selamanya rindu harus terucap
Tidak selamanya kata datang dari hati
Dan tidak selamanya ini selalu tentang kamu

Tuesday, March 7, 2017

[Memoar] Pertama Kali

Selalu ada kali pertama untuk segala hal

Pertama kali kamu menapakkan kakimu ke bumi

Pertama kali kamu mampu mengayuh pedal sepeda tanpa terjatuh

Pertama kali kamu mengenggam piala bertuliskan 'Juara 1'-mu

Pertama kali kamu rindu pada teman lamamu

Pertama kali kamu mendengar 'klik' saat bertemu dengan seseorang

Pertama kali kamu menangis karena cinta tidak berpihak

Pertama kali hatimu hancur menjadi kepingan kecil

Pertama kali kamu menyadari bahwa tidak semua orang yang kamu pikir peduli padamu, benar-benar peduli

Selalu ada kali pertama untuk segala hal

Tapi tidak segala hal memiliki kali kedua

Friday, March 3, 2017

[Memoar] Bukan Kehilangan

Katamu
aku tidak perlu merasa kehilangan
karena kamu sudah pernah
merasakan kehilangan yang lebih besar

Kamu benar
aku tidak perlu merasa kehilangan
karena kamu masih disini
pun di bawah langit yang sama denganku

Aku bersyukur
kamu belum pernah merasakan luka yang sama denganku
yang ku harap setengah mati
tidak akan pernah terjadi padamu

Sunday, February 26, 2017

[Memoar] Bersabarlah, Hati

Bersabarlah, hati
Aku akan meminta waktu untuk menemanimu
Memapahmu hingga kamu mampu berjalan sendiri

Bersabarlah, hati
Tidak apa jika kamu masih merasakan sakit yang sama
Kamu sudah cukup besar untuk menelannya

Bersabarlah, hati
Tidak lama lagi kamu akan pulih
Kembali bersinar dengan warna yang baru

Tolong
Bersabarlah sebentar lagi, hati

Wednesday, February 22, 2017

[Memoar] Semoga Kamu Bahagia Selalu

Meski sekarang aku bukan lagi alasanmu untuk bahagia, tapi aku pernah mendoakanmu untuk selalu bahagia. Tuhan Maha Baik, mengabulkan doa yang beberapa bulan lalu mati-matian aku pinta. Ya, mengangkat sedihmu dan menggantinya dengan bahagiamu, walau tanpa aku.

Ironis? Tidak. Aku turut bahagia bersama kamu.

Klise? Tidak juga. Aku benar-benar bahagia bersama kamu.

Bagiku, melihat seseorang yang pernah sangat berarti selama seperempat umurku bersedih, jauh jauh jauh lebih menyakitkan dibanding melihatnya bahagia dengan yang lain. Walau, sekali lagi, tanpa aku.

Semoga kamu bahagia selalu.

Thursday, February 9, 2017

[Memoar] Kapan

Mempersiapkan.
Memperbaiki.
Gagal.
Hancur.
Memulai kembali.
Kembali gagal.
Kembali hancur.
Kembali memulai.
Gagal.
Hancur.
Hilang.

Kapan?
Aku dibiarkan untuk berhasil menata kembali apa yang telah kamu rusak?

Saturday, February 4, 2017

[Memoar] Menunggu

Aku menunggu
Saat aku bisa bercerita ulang tentang kita
Tanpa pilu di dalamnya
Tanpa tanya yang belum sempat terjawab
Tanpa ego yang meraung

Aku menunggu
Saat aku bisa bercerita ulang tentang kita
Dengan penuh tawa mengingat semua kebodohan
Dengan penuh keseruan menapaki ulang saat kita bersama
Dengan perasaan baru yang belum pernah kita miliki

Masih jauh rasanya
Karena sampai saat ini
Aku masih bercerita ulang tentang kita
Bagaimana cara kamu berbicara melalui hatimu
Bagaimana kamu menatap tepat menuju relungku
Bagaimana aku pernah merasakan lengkap denganmu
Masih dengan perasaan yang sama
Tidak pernah berubah

Belum berubah

Thursday, January 26, 2017

[Memoar] Jejak

Untuk kesekian ribu kalinya aku akan terus berkata, bahwa meninggalkanmu bukan perkara mudah.

Jika hari ini, kamu melihatku tersenyum tanpamu, bukan berati kamu tidak lagi menjadi alasanku untuk tersenyum. Kamu hanya tidak lagi menjadi biang masalah dari tangisku.

Atau jika besok, kamu melihatku dapat meraih sebagian kecil mimpiku tanpamu, bukan berarti kamu lantas telah hilang dari bagian mimpiku. Kamu hanya tidak lagi menjadi alasan utamaku untuk bermimpi.

Berhenti mengganggu harimu adalah hal terakhir yang ingin ku lakukan. Katamu, kamu butuh ruang. Kamu butuh aku untuk pergi.

Tapi aku, butuh untuk meninggalkan jejak. Agar kamu bisa pulang dengan mudah, atau memilih untuk menghapus jejakku.